One Day Trip to Borobudur (Eps.Terhoror)
Perjalanan Menembus Petir
Tak pernah ku sangka sebelumnya saya
melakukan perjalanan ini. Perjalanan tergila yang pernah saya lakukan.
Ekspektasi yang terlalu tinggi berujung pada realita yang terlalu jurang. Tak
pernah sedikitpun saya berfikir mengalami kejadian ini, kejadian biasa yang
berakhir pada realita yang luar biasa. Inilah perjalananku,perjalanan satu hari
menembus petir.
Bagi sebagian orang,bahkan semua orang
mengatakan bahwa travelling adalah hal yang
mengasyikan sampai lupa hal hal yang harus dipersiapkan. Pengalamanku
dimulai ketika memasuki kabupaten Magelang. Ketika pedal gas ditarik
kencang,kecepatan bertambah secara periodik, jalan yang mulus menambah daya
gesek antara aspal dengan roda ban. Seketika itu terdengar suara ledakan dari
arah belakang, dugaanku benar. Ban meletus, asa pun putus.
Tak lama kemudian kami mendapati
sebuah bengkel milik seorang kakek tua. Kami berdua duduk, disuguh dua buah
gelas berisikan sirup marjan rasa melon , setoples kripik bayam dan satu lagi
sepiring pisang goreng. Lantas,kami
menyeruput segelas sirup itu,dahaga hilang pikiranpun kembali bugar. Setelah
lama seatu jam menambal ban, kakek tua itu mempersilahkan untuk melanjutkan
perjalanan. Berhubung ban luar kami juga pecah alias robek kami memutuskan
untuk mencari ritel penjualan barang barang otomotif, sekitar 100m dari bengkel
kami menemukan dan sekaligus memasangnya ditempat tersebut. Dan mirisnya,kami
menghabiskan 170 ribu hanya untuk ganti ban luar dan menambal ban waktu
dibengkel sebelumnya. Duit habis tapi perjuangan tidak tipis.
Dan yang membuat kami jengkel ternyata
lokasi Borobudur tidak jauh dari tempat meledaknya ban motor kami. Sepanjang
perjalanan kami menyesal karena waktu terbuang habis diperjalanan. Kami
seharusnya sampai di candi jam 10 tapi karena ban meledak,kami baru masuk candi
jam 14.00 kurang lebih. Padahal tujuan destinasi hanya berjarak beberapa kilo
meter dari tempat kejadian. Tapi saya baru menyadari ini bagian dari skenario
tuhan yang maha luar biasa,dan uniknya saya baru menyadari hal ini waktu
perjalanan pulang. Apa itu? Tunggu saja sampai bagian akhir.
Sesampai di komplek borobudur kami
memarkir motor di tempat penitipan motor yang bertarif 5000 dilengkapi 4 ruang toilet. Setelah perihal toilet selesei kami langsung
meluncur menuju borobudur. Saya mengusulkan untuk tidak sholat dhuhur karena
waktu benar benar mepet, tapi hati kecil mengatakan masa iya engga sholat
dhuhur emang berani liburan senang ria tapi melupakan tuhan,rasanya takut
dikasih sial sama allah kaya pas berangkat, setelah kami berdua berembug kami
memutuskan untuk membeli tiket terlebih dahulu baru habis itu sholat dhuhur.
Kami berharap dengan sholat dhuhur ujian diminimalisir oleh Allah. Tapi apa
yang terjadi, justru perjalanan pulang lah yang saya rasa lebih besar ngerinya
dari pada pas lagi berangkat.
Selepas makan siang kami melanjutkan
travel ke destinasi tujuan. Borobudur Temple. Begitulah wisatawan asing
menyebutnya. Sebelumnya di ruas jalan saya menyempatkan menawar topi karena
cuaca panas sekali pada jam itu, tapi karena masalah size saya tak jadi
membelinya. Hanya saudaraku yang membeli kaca mata hitam. Kami memulai hunting
foto mulai dari gerbang sampai ke puncak borobudur. Bahkan diloket tiket pun
kami mengambil foto wkwkw. Segitu noraknya.
Kesimpulanya si di setiap spot kami mengambil foto, ya gitulah namanya
juga traveling, tak afdol kalo tak ambil foto banyak. Disela perjalanan menuju
puncak saudaraku memutuskan megganti baju dari kaos menjadi kemeja. Dan anehnya
dia ganti baju ditempat umum dibelakang sebuah rumah dinas wisata. Ditempat
umum wkwk..
Menurut saya cukup lumayan view borobudur karena 7 tahun yang lalu
saya pernah mengunjungi hanya saja dulu belum semenarik sekarang. Didepan
gerbang sudah banyak taman taman, panggung seni, dan kemajuanya untuk saat ini
tidak diperbolehkan membawa makanan satu pun ke dalam kompleks borobudur.
Alhasil kami tidak menemukan banyak sampah berserakan.Bagi yang membawa makanan
akan disita sebentar dan dikembalikan. Tapi senangnya makanan kami tidak disita
karena tidak kelihatan, kami membawa perbekalan minuman dan susu uht. Tidak
adil bukan? Tapi kami sadar diri kok, Borobudur merupakan kekayaan budaya
Indonesia yang harus kita jaga jadi kami membawa sampahnya turun dan di buang
di tempatnya.
Kami berdua mengagumi keajaiban Candi Borobudur, dahulu kala disaat teknologi jelas belum ada, tidak ada alat konstruktor kok bisa Candi Borobudur berdiri sedemikian rupa, dengan susunan batu yang pas dan rapih. Ada beberapa isu yang membicarakan kalau Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman. Wallahu A’lam. Temen-temen bisa mencari artikelnya di sumber lain yang dipercaya.
Kami berdua mengagumi keajaiban Candi Borobudur, dahulu kala disaat teknologi jelas belum ada, tidak ada alat konstruktor kok bisa Candi Borobudur berdiri sedemikian rupa, dengan susunan batu yang pas dan rapih. Ada beberapa isu yang membicarakan kalau Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman. Wallahu A’lam. Temen-temen bisa mencari artikelnya di sumber lain yang dipercaya.
Setelah kami selesai sampai puncak,
kami bergegas turun karena senja sudah mulai megintip. Sebenarnya kami
berencana melanjutkan ke Jogja, tapi saudaraku tidak setuju karena minimnya
budget dan waktu. Akhirnya kami tidak melanjutkan ke Jogja, dan pulang ke
Banjarnegara. Inilah cerita pulang terseram yang akan menjadi titik klimaks
dalam tulisan ini.
Kami dari Borobudur sekitar jam 4
sore, cahaya senja menyapa dari balik Arupadhatu. Angin semilir dari arah barat
menambah daya pikat suasana, riuhan pengunjung dan cahaya flash kamera menjadi
hidangan tersendiri di sekeliling Candi. Tangga demi tangga kami turuni satu
persatu, sembari menghidupkan kamera untuk memotret langit yang epic dan
borobudur yang semakin cantik. Kami tiba diparkiran sekitar pukul 16.15 setelah
semua urusan beres, kami menacapkan gas untuk kembali ke rumah. Hampir satu jam
perjalanan tidak ada masalah, senja berganti tangisan. Langit mulai menyapa
dengan airnya. Ya, hujan deras. Dan kami tidak membawa mantel sama sekali,
karena memang posisi musim kemarau sebenarnya. Kami tetap melanjutkan
perjalanan, hingga puncaknya di Wonosobo tepatnya di jalan alternatif
selomerto. Langit semakin berontak, sesi matahari sudah habis. Langit gelap,
gemuruh petir tak ada hentinya berteriak & lampu motor tak mampu menembus tebalnya
kabut. Posisi kami saat itu jauh dari perumahan. Setelah menemukan sebuah rumah
yang pelataranya lumayan lebar kami berteduh, saat itu pukul 19.00. Di seberang
terpampang jelas sebuah sawah, kami bergidik membayangkan ngerinya perjalanan
kami tadi. Setelah putus asa karena menunggu hampir satu jam, langit ternyata
tak mau berhenti menangis. Kamipun nekad menembus hujan, tapi apalah daya saat
itu sangatlah gelap, jalanan licin kami tak kuat menempuh lagi dengan motor.
Akhirnya pun kami berteduh kembali di tempat lain hingga pukul 20.15an. Di
sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena bercampur rasa
menyesal,marah,kecewa dan lain sebagainya. Tapi disisi lain kami sangat
bersyukur andai saja ban tidak meletus pas berangkat, kemungkinan besar akan
meletus pas malam hari. Nggak kebayang kan gimana ngerinya? Setelah gapura raksasa
bertuliskan Selamat Datang di Banjarnegara, kami mulai sedikit lega. Setidaknya
kami mulai mendekati rumah, walaupun masih membutuhkan setidaknya 1 jam karena
rumah kami tergolong di pedesaan yang jauh dari kota. Sebenarnya masih ada satu
cerita yang tak kalah menyeramkan, yaitu pada saat kita mau mengembalikan
kamera milik teman. Disitu ada cerita horror tapi blog ini konsisten untuk
menyajikan tulisan yang tidak terlalu panjang. Jadi, akan kami tulis di lain
kesempatan.
Apa pelajaran yang dapat diambil dari
perjalanan kita? Beginilah miniatur kecil dari kehidupan. Banyak sekali
hambatan dan tekanan, yang diperlukan adalah bertahan dan tetap melangkah.
Kopinya
sudah habis? Sekian dan terimakasih .
0 komentar