One Day Trip to Borobudur (Eps.Terhoror)

by - September 12, 2019


Perjalanan Menembus Petir
                                                               
Tak pernah ku sangka sebelumnya saya melakukan perjalanan ini. Perjalanan tergila yang pernah saya lakukan. Ekspektasi yang terlalu tinggi berujung pada realita yang terlalu jurang. Tak pernah sedikitpun saya berfikir mengalami kejadian ini, kejadian biasa yang berakhir pada realita yang luar biasa. Inilah perjalananku,perjalanan satu hari menembus petir.

Bagi sebagian orang,bahkan semua orang mengatakan bahwa travelling adalah hal yang  mengasyikan sampai lupa hal hal yang harus dipersiapkan. Pengalamanku dimulai ketika memasuki kabupaten Magelang. Ketika pedal gas ditarik kencang,kecepatan bertambah secara periodik, jalan yang mulus menambah daya gesek antara aspal dengan roda ban. Seketika itu terdengar suara ledakan dari arah belakang, dugaanku benar. Ban meletus, asa pun putus.

Tak lama kemudian kami mendapati sebuah bengkel milik seorang kakek tua. Kami berdua duduk, disuguh dua buah gelas berisikan sirup marjan rasa melon , setoples kripik bayam dan satu lagi sepiring pisang goreng.  Lantas,kami menyeruput segelas sirup itu,dahaga hilang pikiranpun kembali bugar. Setelah lama seatu jam menambal ban, kakek tua itu mempersilahkan untuk melanjutkan perjalanan. Berhubung ban luar kami juga pecah alias robek kami memutuskan untuk mencari ritel penjualan barang barang otomotif, sekitar 100m dari bengkel kami menemukan dan sekaligus memasangnya ditempat tersebut. Dan mirisnya,kami menghabiskan 170 ribu hanya untuk ganti ban luar dan menambal ban waktu dibengkel sebelumnya. Duit habis tapi perjuangan tidak tipis.




Dan yang membuat kami jengkel ternyata lokasi Borobudur tidak jauh dari tempat meledaknya ban motor kami. Sepanjang perjalanan kami menyesal karena waktu terbuang habis diperjalanan. Kami seharusnya sampai di candi jam 10 tapi karena ban meledak,kami baru masuk candi jam 14.00 kurang lebih. Padahal tujuan destinasi hanya berjarak beberapa kilo meter dari tempat kejadian. Tapi saya baru menyadari ini bagian dari skenario tuhan yang maha luar biasa,dan uniknya saya baru menyadari hal ini waktu perjalanan pulang. Apa itu? Tunggu saja sampai bagian akhir.

Sesampai di komplek borobudur kami memarkir motor di tempat penitipan motor yang bertarif  5000 dilengkapi 4 ruang toilet.  Setelah perihal toilet selesei kami langsung meluncur menuju borobudur. Saya mengusulkan untuk tidak sholat dhuhur karena waktu benar benar mepet, tapi hati kecil mengatakan masa iya engga sholat dhuhur emang berani liburan senang ria tapi melupakan tuhan,rasanya takut dikasih sial sama allah kaya pas berangkat, setelah kami berdua berembug kami memutuskan untuk membeli tiket terlebih dahulu baru habis itu sholat dhuhur. Kami berharap dengan sholat dhuhur ujian diminimalisir oleh Allah. Tapi apa yang terjadi, justru perjalanan pulang lah yang saya rasa lebih besar ngerinya dari pada pas lagi berangkat.



Selepas makan siang kami melanjutkan travel ke destinasi tujuan. Borobudur Temple. Begitulah wisatawan asing menyebutnya. Sebelumnya di ruas jalan saya menyempatkan menawar topi karena cuaca panas sekali pada jam itu, tapi karena masalah size saya tak jadi membelinya. Hanya saudaraku yang membeli kaca mata hitam. Kami memulai hunting foto mulai dari gerbang sampai ke puncak borobudur. Bahkan diloket tiket pun kami mengambil foto wkwkw. Segitu noraknya.  Kesimpulanya si di setiap spot kami mengambil foto, ya gitulah namanya juga traveling, tak afdol kalo tak ambil foto banyak. Disela perjalanan menuju puncak saudaraku memutuskan megganti baju dari kaos menjadi kemeja. Dan anehnya dia ganti baju ditempat umum dibelakang sebuah rumah dinas wisata. Ditempat umum wkwk.. 

Menurut saya cukup lumayan view borobudur karena 7 tahun yang lalu saya pernah mengunjungi hanya saja dulu belum semenarik sekarang. Didepan gerbang sudah banyak taman taman, panggung seni, dan kemajuanya untuk saat ini tidak diperbolehkan membawa makanan satu pun ke dalam kompleks borobudur. Alhasil kami tidak menemukan banyak sampah berserakan.Bagi yang membawa makanan akan disita sebentar dan dikembalikan. Tapi senangnya makanan kami tidak disita karena tidak kelihatan, kami membawa perbekalan minuman dan susu uht. Tidak adil bukan? Tapi kami sadar diri kok, Borobudur merupakan kekayaan budaya Indonesia yang harus kita jaga jadi kami membawa sampahnya turun dan di buang di tempatnya. 





Kami berdua mengagumi keajaiban Candi Borobudur, dahulu kala disaat teknologi jelas belum ada, tidak ada alat konstruktor kok bisa Candi Borobudur berdiri sedemikian rupa, dengan susunan batu yang pas dan rapih. Ada beberapa isu yang membicarakan kalau Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman. Wallahu A’lam. Temen-temen bisa mencari artikelnya di sumber lain yang dipercaya.




Setelah kami selesai sampai puncak, kami bergegas turun karena senja sudah mulai megintip. Sebenarnya kami berencana melanjutkan ke Jogja, tapi saudaraku tidak setuju karena minimnya budget dan waktu. Akhirnya kami tidak melanjutkan ke Jogja, dan pulang ke Banjarnegara. Inilah cerita pulang terseram yang akan menjadi titik klimaks dalam tulisan ini.





Kami dari Borobudur sekitar jam 4 sore, cahaya senja menyapa dari balik Arupadhatu. Angin semilir dari arah barat menambah daya pikat suasana, riuhan pengunjung dan cahaya flash kamera menjadi hidangan tersendiri di sekeliling Candi. Tangga demi tangga kami turuni satu persatu, sembari menghidupkan kamera untuk memotret langit yang epic dan borobudur yang semakin cantik. Kami tiba diparkiran sekitar pukul 16.15 setelah semua urusan beres, kami menacapkan gas untuk kembali ke rumah. Hampir satu jam perjalanan tidak ada masalah, senja berganti tangisan. Langit mulai menyapa dengan airnya. Ya, hujan deras. Dan kami tidak membawa mantel sama sekali, karena memang posisi musim kemarau sebenarnya. Kami tetap melanjutkan perjalanan, hingga puncaknya di Wonosobo tepatnya di jalan alternatif selomerto. Langit semakin berontak, sesi matahari sudah habis. Langit gelap, gemuruh petir tak ada hentinya berteriak & lampu motor tak mampu menembus tebalnya kabut. Posisi kami saat itu jauh dari perumahan. Setelah menemukan sebuah rumah yang pelataranya lumayan lebar kami berteduh, saat itu pukul 19.00. Di seberang terpampang jelas sebuah sawah, kami bergidik membayangkan ngerinya perjalanan kami tadi. Setelah putus asa karena menunggu hampir satu jam, langit ternyata tak mau berhenti menangis. Kamipun nekad menembus hujan, tapi apalah daya saat itu sangatlah gelap, jalanan licin kami tak kuat menempuh lagi dengan motor. Akhirnya pun kami berteduh kembali di tempat lain hingga pukul 20.15an. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena bercampur rasa menyesal,marah,kecewa dan lain sebagainya. Tapi disisi lain kami sangat bersyukur andai saja ban tidak meletus pas berangkat, kemungkinan besar akan meletus pas malam hari. Nggak kebayang kan gimana ngerinya? Setelah gapura raksasa bertuliskan Selamat Datang di Banjarnegara, kami mulai sedikit lega. Setidaknya kami mulai mendekati rumah, walaupun masih membutuhkan setidaknya 1 jam karena rumah kami tergolong di pedesaan yang jauh dari kota. Sebenarnya masih ada satu cerita yang tak kalah menyeramkan, yaitu pada saat kita mau mengembalikan kamera milik teman. Disitu ada cerita horror tapi blog ini konsisten untuk menyajikan tulisan yang tidak terlalu panjang. Jadi, akan kami tulis di lain kesempatan.

Apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan kita? Beginilah miniatur kecil dari kehidupan. Banyak sekali hambatan dan tekanan, yang diperlukan adalah bertahan dan tetap melangkah.

Kopinya sudah habis? Sekian dan terimakasih .




You May Also Like

0 komentar